Sejarah dan Perkembangan Rahasia Dagang di Indonesia
Dalam perkembangannya, dewasa ini masalah perdagangan dan industri internasional tidak hanya berkaitan dengan barang dan jasa semata-mata, tetapi di dalamnya juga terlibat sumber daya lain berupa informasi yang berguna bagi kegiatan usaha dan bernilai ekonomi tinggi dalam menjalankan kegiatan usaha industri maupun perdagangan.
Berkenaan dengan hal itu maka para investor dan pelaku bisnis merasa sangat berkepentingan terhadap adanya perlindungan rahasia dagangnya melalui sistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual ( HKI ) sesuai dengan standar internasional. Bagi mereka perlindungan memadai terhadap rahasia dagang pada umumnya merupakan salah satu dasar pertimbangan untuk melakukan perdagangan dan investasi di suatu Negara.
Dipandang dari sudut pandang hukum hal ini dapat dipahami dan sangat beralasan, sebab pelanggaran terhadap rahasia dagang pada gilirannya secara ekonomis akan sangat merugikan para penemu dan pemilik hak tersebut. Rahasia dagang menjadi factor yang esensial dalam upaya persaingan dagang yang jujur ( fair competition ), sekaligus merupakan komoditas yang sangat berharga dan memiliki nilai ekonomi tinggi.[1]
Bahaya dari ketidakterlindungan rahasia dagang cukup berdampak negatif bagi berlangsungnya suatu usaha mengingat suatu perusahaan dapat bertahan dalam dunia usaha adalah dengan memenangkan persaingan yang ada. Oleh karena itu terbuka pemanfaatan tanpa hak, pencurian maupun spionase bisnis guna mendapatkan rahasia dagang dari lawan bisnisnya. Sehinnga terjadi kecurangan dalam persaingan yang jauh dari prinsip keadilan dan kejujuran. Mengingat bahwa pemilik rahasia dagang adalah yang paling berhak atas suatu kepemilikan, tidak terkecuali rahasia dagang yang termasuk ke dalam kategori aset yang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis yang sangat berharga bagi pemiliknya karena berguna bagi pelaksanaan kegiatan usaha industri ataupun perdagangan .
Hukum tentang rahasia dagang itu sendiri mulai dikembangkan pada abad ke Sembilan belas. Satu kasus yang berkaitan dengan rahasia dagang adalah kasus Prince Albert V. Strange. Kasus rahasia dagang yang terjadi pada tahun 1849 ini adalah sebagai berikut : Ratu Victoria dan Pangeran Albert memiliki kegemaran membuat lukisan-lukisan pada logam. Ratu dan suaminya membuat lukisan-lukisan pada logam itu untuk hobi dan kesenangan mereka yang hanya diperuntukkan bagi kepentingan pribadi mereka semata-mata, meskipun kadang-kadang lukisan itu mereka berikan sebagai kenang-kenangan bagi teman-teman dekat mereka.
Suatu saat lukisan itu diserahkan kepada seorang ahli cetak untuk digravir dan ahli gravir itu secara diam-diam membuat tiruan-tiruan yang kemudian diserahkan kepada tergugat ( Strange ) yang berniat memamerkan karya-karya tersebut dalam suatu pameran yang terbuka untuk umum yang penyelenggaranya dikomersialkan. Pengadilan memutuskan untuk melarang penyelenggaraan pameran tersebut karena pemilikan atas lukisan-lukisan itu diperoleh berdasarkan pelanggaran atas kepercayaan yang telah diberikan dan kerahasiaan yang terangkum dalam sebuah kontrak.[2]
Kasus lain di Inggris berkenaan dengan hukum kerahasiaan adalah Coco v. AN Clark ( engineer ) Ltd. 1969 yang menyangkut suatu desain mesin pembersih yang dibuat oleh penggugat yang terlibat negosiasi bisnis dengan tergugat. Tergugat dalam hal ini dinyatakan telah melanggar rahasia dagang karena telah mengingkari kewajibannya untuk menjaga kerahasiaan tersebut. Hal terpenting dari kasus ini, pengadilan menyatakan bahwa suatu tindakan dianggap telah melanggar rahasia dagang jika memenuhi unsur-unsur : pertama : pertama, bahwa informasi itu memiliki nilai kerahasiaan, kedua, adanya kewajiban para pihak untuk merahasiakan informasi tersebut dan ketiga, adanya unsur perbuatan berupa tindakan penggunaan informasi tersebut secara melawan hukum yang merugikan pemilik informasi.
Berikutnya, kasus Thomas Marshall ( exports ) Ltd. V. Giunle 1976, di mana pihak tergugat yang sebelumnya meletakkan jabatan sebelum habis 10 Tahun jabatannya kemudian mendirikan perusahaan saingan. Informasi yang menjadi persoalan menyangkut sumber-sumber pemasok dan nama-nama pejabat serta kontrak-kontrak lainnya di Eropa dan Timur Jauh. Hakim memenangkan pihak penggugat dan ia menyatakan bahwa diperlukan empat unsur dalam mengkaji kualitas kerahasiaan, yaitu : pertama, pembocoran informasi akan merugikan pemilik informasi atau akan menguntungkan pihak lain; kedua, pihak pemilik informasi harus yakin bahwa informasi itu benar-benar rahasia dan belum diketahui masyarakat luas; ketiga, keyakinan pemilik informasi atas hal itu harus bersifat wajar; dan keempat, informasi itu harus dinilai dari segi kebiasaan-kebiasaan dan praktik-praktik perdagangan atau industry khusus yang terkait.[3]
Jika kita lihat juga, sebenarnya dalam konsepsi hukum di Indonesia perlindungan rahasia dagang bukan merupakan hal yang baru meskipun tidak secara detail namun sudah ada upaya perlindungan hukum sejak dahulu terbukti ada dalam KUHP. Pelanggaran terhadap Rahasia Dagang dalam KUHP masuk ke dalam lingkup kejahatan. Dasar Hukum yang digunakan adalah Pasal 322 ayat 1 KUHP, di mana dinyatakan bahwa bagi orang yang dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya, baik itu yang sekarang atau yang dulu, dapat dipidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak Sembilan ribu rupiah. Jika pelanggaran Rahasia Dagang tersebut dilakukan seteleh buruh itu tidak lagi bekerja di perusahaan tersebut dan ia berada pada waktu di mana ia masih harus menjaga Rahasia Dagang tersebut maka ketentuan dalam KUHP yang digunakan tidak lagi Pasal 322 ( 1 ), tetapi menggunakan pasal 323 ayat ( 1 ). Pasal 323 ayat ( 1 ) menyatakan bagi orang yang dengan sengaja memberitahukan hal-hal khusus tentang suatu perusahaan dagang, kerajinan atau pertanian, di mana ia bekerja atau dahulu bekerja, yang seharusnya dirahasiakan, diancam pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak Sembilan ribu rupiah. Dalam Pasal 323 ayat ( 2 ) disyaratkan pula adanya pengaduan dari pengusaha untuk dapat mengajukan tuntutan ( aduan ).
Secara perdata, buruh dapat dikenakan tuntutan telah melakukan wanprestasi ( jika masih bekerja di tempat pemilik Rahasia Dagang ) atau perbuatan melawan hukum. Dasar untuk melakukan tuntutan penuntutan wanprestasi adalah klausul perjanjian mengenai kewajiban melindungi Rahasia Dagang yang terdapat dalam perjanjian kerja. Klausul perjanjian tersebut dapat menjadi dasar hukum dalam melakukan gugatan berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Adapun untuk perbuatan melawan hukum, dasar hukumnya adalah pasal 1365 KUH Perdata. Tuntutan atas dasar wanprestasi lebih mudah dalam hal pembuktian dibandingkan dengan perbuatan melawan hukum karena berdasarkan pada perjanjian kerja yang memuat mengenai Rahasia Dagang.[4] Namun demikian, dalam beberapa aturan yang sudah menyinggung mengenai rahasia dagang dirasa belum benar-benar melindungi secara rinci terkait dengan adanya pelanggaran dan hal lain yang berkaitan dengan itu.
Momentum kehadiran rahasia dagang secara utuh di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keikutsertaan Indonesia dalam berbagai perjanjian internasional khususnya TRIPs. Adanya pengaturan rahasia dagang dalam TRIPs menunjukkan bahwa telah ada kesepakatan, minimal bagi anggota peserta WTO, Perlindungan rahasia dagang dalam suatu negara akan mendorong masuknya investasi, inovasi industri dan kemajuan teknologi. Para investor merasa aman dan dihargai karena ada perlindungan atas rahasia dagangnya dan akan berpengaruh langsung pada keseluruhan perekonomian negara. Rahasia dagang merupakan bagian HKI, sehingga hal ini diatur dalam Persetujuan TRIPs/WTO. Persetujuan TRIPs/WTO menggunakan istilah Undiscloused Information untuk menunjukan informasi yang harus dirahasiakan. Pengaturannya dapat dijumpai dalam section 7 Protection of Undiscloused Information Pasal 39 Persetujuan TRIPs, yang berbunyi:[5]
Pasal 39
Ketentuan Pasal 39 Persetujuan TRIPs ini didasarkan untuk menjamin perlindungan yang efektif untuk mengatasi persaingan curang sebagaimana diatur dalam pasal 10bis Paris Convention. Untuk itu, Negara-negara anggota WTO wajib memberikan perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakandan data yang diserahkan kepada pemerintah atau badan pemerintah.
Berkaitan dengan keikutsertaan Indonesia dalam TRIPs Indonesia harus memenuhi kewajiban yang tertera dalam perjanjian WTO dan TRIPS yang mengharuskan setiap peserta dalam WTO, juga menaati dan menerima dalam undang-undang tersendiri di bidang HKI atau aturan lainnya secara nasional segala ketentuan yang termaktub dalam perjanjian TRIPS termasuk di dalamnya Rahasia Dagang yang merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual.
Dengan Amanat Presiden Nomor R.43/PU/XII/1999 tanggal 8 Desember 1999, oleh Pemerintah disampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Rahasia Dagang kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibicarakan dalam siding Dewan Perwakilan Rakyat guna mendapatkan persetujuannya. Kemudian pada tanggal 20 Desember 2000 akhirnya disahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.[6]
Pengaturan mengenai Rahasia Dagang di Indonesia tidak hanya diatur dalam Undang-Undang Rahasia dagang namun juga terdapat pada Pasal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Namun demikian dengan lahirnya UU Rahasia Dagang, maka undang-undang ini adalah sebagai lex specialis derogat legi generali.
sumber : http://fauzancorporation.blogspot.com/
sumber : http://fauzancorporation.blogspot.com/
0 komentar: